Lintang

đź“… Apr 30, 2025


Kau tahu, Rahh, saat kamu menyembunyikan masalahmu dari ibu, percayalah, dia akan punya prasangka tentang itu saat mutiaranya sedang gelisah. Mungkin kamu tidak ingin membuatnya cemas, atau khawatir, atau membebani pikirannya. Tapi percayalah, akan lebih baik jika kamu menceritakan segala sesuatu yang kau pendam padanya daripada ke manusia lain. Sungguh, ridho dan doanya lah yang engkau butuhkan untuk melewati ujianmu itu. Maka lebih baik jangan sembunyikan itu, dan utarakanlah dengan perkataan yang baik padanya. Lalu apabila kamu telah meluapkan semuanya, ketenangan dan rasa lega itu akan datang padamu, maka senang hatimu, dan senang pula hatinya.


Selamat malam, Rahh. Barangkali rembulan masih bersinar untukmu. Seperti apa pemandangan malam di kotamu sekarang?

Saat ini aku sedang mengamati bintang-bintang. Baru saja hujan lebat, makanya langitnya cerah malam ini. Tapi, Rahh, bulannya tidak muncul. Ia sebenarnya ada disana, persis di antara kita dan Matahari, hanya saja tak terlihat, cahayanya tidak tampak, sebab malam ini dia ada di fase bulan mati, saat Bulan berada dalam satu garis lurus di antara Matahari dan Bumi.

Bila cahayanya tak nampak, apa gunanya, Bapaim?

Justru inilah saatnya bintang-bintang yang redup itu mendapat kesempatan untuk bersinar, Vi~

Tidak ada yang mengganggu cahaya bintang-bintang yang susah payah menyentuh Bumi. Bintang itu berkedip, padamu Rahh, cahayanya redup, tapi dia eksis di situ. Mungkin dia tahu kalau kita berdua mengaguminya.

Aku duduk mengamati bintangnya sambil membaca surat-suratku yang lama. Kau tahu, Rahh, aku memang jarang membaca ulang surat yang pernah aku kirim padamu, malah mungkin tidak pernah. Tapi saat menulis ini, aku membacanya lagi — tidak semua, sih, beberapa saja, soalnya aku suka cringe sendiri dengan apa yang pernah aku tulis...

Lagian, apa sih yang ada di pikiranku saat menuliskan itu dulu — ah, lebay lu, Ramm. Aku membacanya kembali... yah, mungkin untuk melihat kembali apa yang sudah aku rasakan sejauh ini. Dan musik yang aku selipkan di antara tulisannya benar-benar membawa atmosfer yang — entahlah — seperti nyata, nostalgic.

Lalu aku mulai ingat kembali tentang alasan tulisan-tulisan itu ada, dan pada akhirnya aku bersyukur pernah menulis itu semua.

Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan saat membaca suratku — apakah senang, atau malah cringe membacanya. Aku sebenarnya tidak terlalu memusingkannya juga, sebab aku memang menulis ini dengan perasaan paling jujur. Kata-kata yang tertulis keluar begitu saja dan ditulis begitu saja di sini.

Isi suratku ini biasanya kutulis sekaligus, dan tak pernah direncanakan atau dipikirkan matang-matang sebelumnya. Karena ini dituliskan secara langsung saat aku ingin menulisnya, jadi maklum saja, ya, kalau strukturnya tidak rapi, atau ada kata yang typo, atau alurnya tidak jelas. Semoga kamu paham dengan tulisannya, atau kalau tidak juga tidak apa-apa.

...

Kalau diperhatikan lagi, Rahh, aku seperti terlalu cengeng di tiga suratku sebelumnya, tidak seperti suratku yang lalu-lalu, yang aku suka banyak bercerita padamu.

Jadi kali ini aku ingin bercerita padamu lagi, ya. Bercerita hal-hal yang ringan saja, seperti cerita paus kesasar itu, atau cerita pak pos yang libur itu. — Sepertinya aku punya daya imajinasi yang tinggi tentang ini, Rahh, hahaha...

Kamu boleh anggap ini dongeng sebelum tidur, atau hanya cerita tidak jelas yang memang aku asal saja menulisnya.


Kali ini tentang bunga matahari.

Katanya, Rahh, sebelum mekar, bunga matahari muda mengikuti arah matahari dari timur ke barat untuk memaksimalkan penyerapan cahaya. Itu disebut heliotropisme.

Artinya, secara awam bisa dibilang kalau bunga matahari memandang ke arah cahayanya saat dia pertama kali bertemu (terbit) hingga dia berpisah (terbenam), lalu menunggu untuk bertemu lagi.

Tapi setelah dewasa, setelah berulang kali pertemuan (terbit) dan perpisahan (terbenam) itu, bunga akan menghadap ke timur secara permanen, seolah-olah saat dewasa dia selalu menghadap ke timur agar yang dia lihat dari cahayanya itu adalah pertemuan (terbit), bukan perpisahan (terbenam).

Apakah bunga matahari yang kita lihat di taman itu berpikiran demikian juga, Rahh? Walaupun saat itu bunganya sudah layu.


Aduhh, itu lebih terdengar seperti tulisan di buku sains daripada dongeng, ya... Yahh, selanjutnya aku tidak ingin terlalu banyak metafor. Bahasaku sederhana, Sinta. Mungkin lebih sederhana dari kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Mungkin lebih sederhana dari isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.

Lho, itu bukannya metafor ya, Bapaim?

Hmmm, nggak tahu deh. Kata dan isyarat itu cuma aku pinjam dari Sapardi Djoko Damono aja, Vi, hehehe.


Ngomong-ngomong, aku mau cerita sesuatu lagi padamu, Rahh, soal susah tidur. Dulu, waktu masih kecil, aku enteng sekali tertidur, lho. Sebab selalu aku ditemani ibuku sebelum tidur, ubun-ubunku sambil dielusnya, suaranya bagai nyanyian lembut, tunggal nadanya, seakan-akan Loreley — namun bedanya, kali ini bukan kapal di lautan yang dibuatnya tenggelam, melainkan kapal kelopak mataku. Dia terus mengucapkan kalimat yang berulang-ulang, suaranya lebih indah dari Suite Bergamasque yang sedang kamu dengar sekarang, suaranya lebih nyaman dari angin sepoi-sepoi yang dikipaskan pada raja-raja, suaranya lebih halus dari bulu dada merpati yang kamu kasih makan remah roti tiap sore.

Kamu bilang aku terlalu melebih-lebihkan, Rahh? Biar saja, sebab yang paling berharga bagi anak laki-laki memang selalu tentang ibunya, setelah itu baru yang lain.

Selain itu, Rahh, ayahku juga suka mendongeng. Dulu aku selalu diceritakan dongeng sebelum tidur. Aku tahu itu cerita yang dibuat-buat hanya untuk membuatku mengantuk, walaupun aku selalu menyela ceritanya dengan pertanyaan tentang: apakah jangkrik dan belalang di dalam ceritanya benar-benar ada? Atau apakah dulu kakek sudah pernah bertemu dengan hewan-hewan itu? Tapi aku tidak terlalu ingat tentang detail ceritanya, Rahh. Mungkin karena aku lebih suka memperhatikan wajah orang tuaku saat menceritakannya daripada cerita itu sendiri, lalu bertanya hanya untuk membuat mereka berpikir kalau aku menyimaknya, walau sebenarnya aku tidak benar-benar ingin tahu jawabannya.


Mungkin ini persis seperti aku yang bercerita kepadamu tentang paus itu, Sinta, atau pak pos yang mau ke bulan itu.

Apakah ada yang ingin kau tanyakan tentang hal itu, Sinta?

Kendati aku lebih suka memperhatikan ekspresimu saat bertanya daripada pertanyaan itu sendiri.


Walaupun aku melihat bintang-bintangnya masih berkedip—mungkin padamu—Rahh, tapi barangkali tetap ada sedikit (atau banyak) keinginanku untuk melihat bulannya muncul sambil menulis surat ini untukmu.

Hmm… aku jadi ingin bercerita padamu tentang sesuatu, Rahh. Ini kisah dari William Shakespeare yang diceritakan oleh Marks Bart.

Tentang Adipati Picardy yang mendapatkan mimpi, seorang wanita yang cantiknya tidak pudar oleh apa pun.

Pada suatu malam, saat Duke sedang berkuda, ditemuinya Claire de Lune di bawah sinar bulan. Peri itu sedang menari di hamparan padang rumput. Maka Duke seketika terpana lalu jatuh hati pada Claire. Namun, saat mendekatinya, peri itu berlari ke hutan.

Duke lalu mengejarnya, sampai-sampai tanpa disadari ia menabrak cabang pohon sehingga terlemparlah ia dari kudanya. Tapi Rahh, Duke sudah terlalu kepincut dengan peri itu, dibayangi kembali adegan di bawah sinar bulan itu, Duke lalu bergegas berdiri kembali dan berlali mengejarnya hingga sekilas gaun Claire menyentuh jarinya. Tapi seketika peri itu hilang di balik pohon.

Semakin jauh ia berjalan ke dalam hutan gelap, sambil tergopoh-gopoh Duke menemukan dirinya yang dikelilingi peri-peri, dengan masing-masing dari mereka memiliki pesonanya sendiri-sendiri.

Tapi Duke hanya terpana pada Claire. Hingga laki-laki itu memohon pada Claire untuk menikah dengannya.

Dhilalah~ Claire ternyata bersedia —aku tak bisa bayangkan, Rahh, gimana rasa senang yang dialami Duke saat itu. Namun peri itu memberikan sebuah syarat bahwa Duke dilarang mempertanyakan keberadaan Claire ketika ia tak ada di sisinya. Maka Duke pun setuju.

Sejak itu teman dan pelayan dari Duke menyatakan bahwa mereka belum pernah melihat dia sebegitu bahagianya—Aduhh Rahh, kau tahu. Saat feeling itu sudah begitu kuat, maka seisi duniamu dibikin takjub, lalu kamu pura-pura cuek dengannya.

Tapi tiba satu malam, saat bulan mulai berlalu, cahayanya tak tampak—ia sebenarnya ada disana, persis di antara kita dan Matahari, hanya saja tak terlihat—seperti malam ini. Duke tiba-tiba terbangun dan menemukan Claire tidak ada bersamanya. Ia mencarinya terus-menerus tapi Claire tak kunjung datang. Entah karena apa, Duke bisa menahan dirinya untuk tidak mencari Claire. Duke bisa menahan diri untuk tidak mempertanyakan keberadaan perinya itu.

Maka ketika sepotong bulan kembali muncul di langit, Duke merasakan kehadiran di belakangnya. Dia lalu berbalik dan dilihatnya yang dirindunya kembali, dilihatnya cahayanya kembali, dilihatnya Claire. Claire begitu gembira mengetahui Duke yang menepati janjinya.

Tapi siklus terus berlanjutkan. Setiap kali bulan menghilang, Claire ikut menghilang dan ketika bulan muncul Claire pun turut kembali.

...


Tentang suratmu, Sinta, aku baru saja membacanya. Kau tak bilang-bilang ya, kalau sudah mengirimnya. Makanya surat ini juga aku tidak bilang-bilang saat mengirinya. Suratmu panjang sekali, ya... hahaha. Tapi aku pastikan membacanya sampai selesai.

Kau tahu, aku membacanya sambil tertawa, lalu memikirkan kembali apa yang pernah kuutarakan. Sejujurnya, aku tidak pernah merencanakan apa pun sebelumnya, tidak memiliki niat apa pun, juga tidak memiliki ekspektasi apa pun: tentang pertemuan itu, tentang perpustakaan, tentang buku, tentang jurnal, tentang diskusi, tentang website, tentang kereta, tentang jalan-jalan, tentang kota tua, tentang mi ayam, tentang pengamen, tentang musik, tentang gitar, tentang bulan, tentang perpisahan itu... tentang suratnya.

Tapi aku bersyukur, segala macam patah hatiku terhadap dunia membawamu padaku, atau aku padamu.

Lagian aku bukan siapa-siapa... dan sekali lagi aku bukan siapa-siapa: bukan penulis, bukan penyair, bukan puitisi, bukan pelukis, bukan seniman, bukan orang yang begitu pintar seperti katamu, bukan juga orang yang ramah, mungkin juga bukan orang yang sekeren bayanganmu.

Mungkin rasa kagummu hanya karena Dia yang menutup aib-aibku. Entahlah, aku merasa seperti tidak pantas akan semua ini, Sinta.

Walaupun begitu, aku tidak ingin terlalu rendah diri, sebab jika begitu berarti aku menafikan kebaikan yang diberikan oleh Dia Yang Maha Baik padaku.

Namun aku tetap berusaha dengan sungguh-sungguh menjadi pribadi yang baik seperti bayanganmu, bahkan mungkin melebihinya.

Dan aku berlindung kepada-Nya dari merasa tinggi atas apa yang telah Dia berikan dan apa yang akan Dia berikan padaku.

Walaupun tidak sebaik motivator yang mungkin kamu follow itu, tapi kuusahakan untuk terus memperbaiki diri —diam-diam memperbaiki diri— mengevaluasi tindakanku, perkataanku, pemikiranku, juga perasaanku, agar nanti bisa pantas untuk semua ini.

— Ah, lebay lu, Ram.

Aku rasa kegiatan menulis dan membalas surat ini memang sudah cukup, setidaknya untuk saat-saat ini.

Dan sekali lagi, aku sangat ingin agar batasan-batasan tetap terjaga.

Yahh, tapi suratku ini bukan puisi, bukan pula sajak, hanya saudade yang jadi menggelikan karena kuucapkan.


Setidaknya menurutku, ada tiga sebab Dia Yang Maha Suci dari prasangka mempertemukanmu dengan seseorang: Yang pertama, agar seseorang itu mengubahmu menjadi lebih baik. Yang kedua, agar kamu mengubahnya menjadi lebih baik. Dan yang paling manis adalah Dia ingin kalian sama-sama berubah menjadi lebih baik. Sungguh, aku mengharapkan sebab yang ketiga dari ini, Sinta.

Tidak usah khawatir, Sinta, Dia yang awalnya mempertemukan tanpa rencana, maka nanti akan Dia pertemukan lagi tanpa rencana.


Terakhir, Sinta, aku cuma mau bilang kalau senang bisa mendengar suaramu lagi.

Kalau kuingat-ingat, sudah beberapa tempat yang aku pijak sambil menuliskan surat ini padamu: Bandung, Jakarta, Bogor, Garut, Sukabumi, Kupang.

Surat yang dulunya aku tujukan untuk Sinta dalam imajinasiku, dalam khayalanku, dalam dunia ideku, dalam pengharapanku, sekarang aku tujukan padamu.

Ehh kok sampai sini isi suratnya, hmmm… mungkin kau sudah tidur, atau mungkin kamu merasa cringe, atau mungkin juga sedang membaca surat ini sambil tertawa kecil. Aku suka membayangkan itu.

sudah terlalu panjang suratku ini. Tak ada lagi kata yang tersisa untuk diucapkan.

Anyway, good night

- rama


ngl button