Kamu lalu memutar musiknya, musik dan bacaan tak terpisahkan di sini, bagai langit dan warna biru. Kali ini kau dengar Chopin Clair de Lune the still moonlight sad and lovely.
Rahh, banyak yang ingin aku ceritakan padamu kali ini, terlalu banyak, sampai-sampai aku bingung harus mulai dari mana. Setiap kali ku tulis sesuatu… kuhapus, lalu kutulis lagi.. Surat-suratku selama ini untukmu bukan puisi, bukan pula dongeng; ini hanya sebatas saudade yang jadi menjijikkan karena ku ucapkan.
Kurang lebih —sampai surat ini ditulis— sudah tiga puluh lima hari aku tinggal di tempat yang sebagian besar wilayahnya adalah persawahan dan perkebunan. Sudah tiga puluh lima hari aku tinggal di tempat yang segala penjurunya dapat kau saksikan pemandangan yang indah, di tempat yang kamu masih dengan mudah menemukan belalang, capung, dan kupu-kupu, di tempat yang pagi harinya burung-burung memainkan waltz di atas padi-padi, di tempat yang malam harinya suara katak dan jangkrik sahut-menyahut dengan rembulan, di tempat yang sebagian besar penduduknya hidup dengan bertani, berburu, dan beternak, di tempat yang masyarakatnya berbicara dengan nada halus yang disertai senyuman, di tempat yang orang-orangnya kalau menunjuk sesuatu selalu dengan ibu jari daripada telunjuk, di tempat yang setiap harinya aku selalu ditawari makanan, di tempat yang bahasanya belum bisa aku pahami seutuhnya, di tempat yang hawanya dingin walau terik— di tempat yang nyaman.
Di sini Rahh, aku sering jalan-jalan, kemanapun itu, ke sungai, persawahan, atau mata air. Aku suka jalan bolak-balik di atas jembatan gantung, aku suka berendam kaki di dekat mata air, aku suka berdiri di atas bebatuan di tengah aliran sungai, aku suka duduk di bangkai pohon besar di antara pematang sawah, aku juga suka tidur di atas batu besar di tengah persawahan yang sekelilingnya tumbuh bunga-bunga merah. Tapi yang paling aku suka adalah duduk di atas saung berdua dengan Sita seperti yang ku tulis di suratku sebelumnya —entah yang itu sudah kamu baca atau belum— Aku membaca cerita Ramayana, sedangkan dia mengotak-atik laptopnya. Selain itu, aku juga suka mengamati batu terbelah yang ada di depan saung itu, di antara retakannya tumbuh bunga-bunga dandelion mekar yang pupusnya beterbangan saat ditiup angin kencang.
Oh iya, Rahh... Beberapa hari yang lalu, aku menghadiri sebuah upacara syukuran di sini. Seorang anak telah lahir. Dirinya setangkai bunga (seorang bayi perempuan), tubuhnya sehat dan berisi, kulitnya kuning muda seperti kelopak bunga kamelia, dan jari-jarinya lembut melengkung seperti dua sisir pisang susu. Ia tertidur tanpa ekspresi, seolah-olah kebisingan dunia ini bukan urusannya. Mutiara yang tertidur di atas cribs itu kemudian diangkat perlahan-lahan untuk dibawa keluar rumah. Kakaknya yang lebih tua menggendongnya dengan sangat hati-hati sekali, seakan-akan langit dan bumi ada di tangannya.
Saat dibawa keluar rumah, ia diiringi oleh syair pujian dan doa-doa. Mutiara kecil itu menjadi pusat perhatian. Dia dikelilingi oleh banyak orang, bapak-bapak dengan wajah penuh kebanggaan, pemuda-pemuda yang tersenyum lebar, dan anak-anak kecil yang melihat dengan mata penuh rasa ingin tahu.
Para lelaki berada di luar rumah melaksanakan semua acara dan doa-doanya sedangkan para wanita menyiapkan semua makanannya. Dalam ritual yang khidmat, kelopak matanya ditetesi dengan air mawar, kemudian ubun-ubunnya dielus dengan lembut. Lalu, beberapa helai rambutnya dipotong dengan sangat hati-hati sambil dibisiki doa dan puji-pujian kepada Tuhan. Ketika air menyentuh kulitnya, ia sedikit bergerak dan mengeluarkan suara lembut, seakan merespons panggilan dunia.
…
Rahh, kemarin juga aku pergi jalan-jalan ke Pantai Palabuanratu, jaraknya sekitar 45 km dari desa tempat aku melaksanakan KKN. Pantainya berhadapan langsung dengan Samudera Hindia, sehingga gelombang air laut yang dihasilkan begitu kuat. Saat berdiri di tepi pantai, angin laut yang segar menyapu wajahku, membawa aroma asin yang khas. Suara deburan ombak yang bergulung-gulung terdengar seperti simfoni alam. Jika dibandingkan dengan pantai dekat rumahku di Nusa Tenggara Timur, aku sih lebih menyukai yang di dekat rumahku :v Ombaknya lebih tenang karena pantainya tidak langsung berhubungan dengan laut lepas. Di sana airnya jernih, sehingga kamu bahkan dapat melihat langsung ke dasar airnya jika kedalamannya di bawah 5 meter, banyak terumbu karang warna-warni dengan berbagai jenis ikan lalu lalang dengan bebas.
Meskipun begitu, sunset di Palabuhanratu sangat memukau. Langit berubah menjadi kanvas dengan warna-warna oranye, merah, dan ungu yang berpadu sempurna saat matahari perlahan tenggelam di cakrawala, aku jadi rindu rumahku. Entah dimanapun itu, pemandangan matahari terbenam selalu menawan. Selain sunset-nya, pemandangan lautnya saat malamnya cantik sekali, banyak pelampung bertaburan di atas air. Ketika cahaya matahari mulai hilang sedikit demi sedikit, satu-per-satu pelampung itu menyala lalu berkelap-kelip semuanya. Warna cahayanya putih dan biru. Cahaya kelap-kelip itu mungkin digunakan oleh nelayan sebagai umpan untuk cumi-cumi, tapi jika kau melihatnya dari dataran tinggi, pelampung-pelampung itu terlihat seperti bintang-bintang yang mengapung di atas air.
Itu beberapa ceritaku padamu, Rahh, semoga saja bisa sedikit menghiburmu di sana. Aku penasaran apa yang sedang kamu lakukan saat ini. Bagaimana kabarmu sekarang? Sudah lama sekali aku tidak melihatmu. Seperti apa pemandangan malam di kotamu sekarang, Rahh? Aku berharap semuanya baik-baik saja di sana.
- rama
Previous Next