Entahlah... Sinta, Akhir-akhir ini mood-ku sepertinya sedang naik turun. Biasanya aku melampiaskannya dengan lari keliling kampus atau bermain dengan kucingku. Tapi kau tahu, semenjak aku pulang kembali ke kontrakanku, aku tidak pernah melihatnya lagi. Bahkan makanan kucing yang aku taruh di dekat jendela kamar juga tidak berkurang. Tidak tahu dia pergi ke mana. Aku sempat berpikir untuk memelihara kucing liar saja, tapi skill menjinakkan kucingku terlalu ampas, jadi yaahh… apa aku culik kucing peliharaan tetangga saja, ya? Hahaha... bercanda. Tapi, Sinta, aku pikir mungkin berkisah beberapa hal padamu bisa sedikit membantu. Saat kemarin kamu memberitahuku kalau kamu sudah membaca suratnya membuatku sena—
Eh.. sebentar… sepertinya aku dengar suara anak kucing. Hmmm, bentar ya, Sinta, aku akan mengeceknya dulu—
…
Aduhh, kabur kan kucingnya. Sudah kubilang skill menjinakkan kucingku tidak begitu baik.
Selamat malam Rahh, bagaimana kabarmu? Barangkali rembulan masih bersinar untukmu malam ini.
Aku tadinya ingin memilih Beethoven Moonlight Sonata untuk kau dengan bersama surat ini, tapi aku rasa note-notenya terlalu sedih untuk dipasangkan dengannya—walaupun memang cocok dengan suasana hati Rama saat ini. Jadi aku pilih saja Debussy yang lebih ceria untuk kamu dengar sebab aku ingin kau membaca ini dengan perasaan senang. Biarlan Beethoven dengan kesedihannya dan Fur Elisenya.
Aku sebenarnya ingin mengirim pesan padamu setiap hari, lalu juga ingin kamu membalasnya, dan mungkin kamu pun akan membalasnya.. ingin berkabar padamu setiap hari tentang apa yang kutemui di jalan, tentang tempat tempat yang aku kunjungi, tentang makanannya, tentang orang-orangnya... juga tentang bulan dan matahari. Tapi Rahh, jika aku melakukannya maka perpisahan ala ala ini jadi kurang elegan, sebab sesuatu yang ditabung sedikit demi sedikit akan berkurang dan mungkin akan biasa saja nanti. Maka itu sekarang cukup aku kirimkan surat padamu saja sesekali. Maka kamu baca suratnya sambil memutar musiknya, berulang kali. Mungkin kamu akan bosan karenanya, atau mungkin juga tidak. Mungkin juga kamu menunggu nunggunya atau mungkin juga tidak.
Walaupun begitu, kamu sebenarnya boleh membacanya sebelum tidur atau kapanpun kamu mau, atau tidak membacanya juga tidak apa apa jika kamu sibuk, toh tidak ada paksaan untuk ini, isi suratnya juga mungkin tidak penting-penting sekali, isinya cuma tulisan asal asalan ku saja yang mungkin ada kebaikan di dalamnya atau mungkin juga tidak, yang aku harap ada. Tidak kamu balas surat ini juga tidak apa apa, malahan kamu tidak perlu membalasnya. Mengetahui kamu sudah membacanya saja cukup untukku, cukup membuat mood ku penuh. Aku akan coba mengirimnya di waktu-waktu senggangmu, mungkin di weekend. Sebab aku tau kamu selalu sibuk, jadi aku tidak ingin mengganggu kesibukanmu—katanya kalau tidak sibuk kamu bakal sakit ya? Hahaha.. lucu juga vi.
Aku ingat kamu pernah bilang, bahkan mungkin sering bilang, kalau kamu insecure.. aduhh, aku sudah pernah mengatakannya dan aku akan mengatakannya lagi, kalau kamu itu lebih pintar dariku, lebih simpatik dariku, lebih baik dariku, lebih dewasa dariku, lebih punya banyak pengalaman dariku, lebih berani dariku, lebih berpendirian dariku, lebih kuat dariku, lebih berprestasi dariku. Lantas apa yang membuatmu insecure, Sinta. Sungguh-sungguh tetaplah jaga hubunganmu denganNya dan berpegang teguhlah pada tali itu, lalu tunggu kabar gembira darinya dan jangan berkecil hati, karena Dia pencipta dan pemelihara semesta langit dan bumi telah menyimpan sesuatu untukmu.
Ngomong ngomong soal judul suratnya Rahh, sudah tiga surat ini aku beri judul "bulan", mungkin sekali karena saat menulisnya aku selalu teringat purnama di kota tua yang sembunyi di balik awan awan itu, mengamati kita makan mie ayam yang setengahnya kamu berikan padamu. Atau mungkin juga karena hal lain. Yang jelas, itu ada alasannya, tanyakan saja pada Rama kalau kamu memang ingin tahu.
Aku sebenarnya kurang suka kalau terlalu banyak dipuji, selain karena memang aku tidak pantas dipuji, juga aku mungkin terlihat baik karena Dia yang menutup aib-aibku. Selain itu aku juga takut nanti Dia yang paling berhak untuk dipuji dengan pujian yang paling tinggi cemburu.
Kau tahu rahh, aku jarang melakukan dokumentasi kegiatanku, apapun itu—ngajar, event, pameran, lomba, atau sekadar jalan-jalan. Bukan berarti aku tidak ingin mengabadikannya atau tidak ingin mengenangnya lagi, yang mungkin kegiatan yang kulakukan saat ini akan menjadi bagian di antara yang paling aku rindukan nanti. Tapi aku ingin agar memori itu bisa aku nikmati sepenuhnya saat itu terjadi, sebab jika aku berusaha untuk mendokumentasinya malah ada beberapa bagian yang mungkin terekam dengan baik di foto atau video, tapi ada suasana yang aku lewatkan in real life, dan aku tidak mau itu. Ini bukan berarti aku men-judge sesuatu tentang itu ya Rahh,mengabadikan sebuah moment tentu baik saja, dan tidak ada salahnya sama sekali. Tapi kalau disuruh memilih, aku tetap memilih untuk tidak terlalu tenggelam di gadgetku untuk mengcapture sesuatu. Aku lebih suka menikmatinya sepenuhnya lalu kuceritakan padamu dalam surat ini atau langsung dari mulutku nanti, di Jogja atau di Jakarta. Agar kamu tertawa atau terharu karena ceritaku, walaupun aku lebih suka melihatmu tertawa sih.
Oh iya Rahh, aku mulai mendengarkan playlist lama ku lagi, yang memang aku simpan-simpan untuk ku dengar saat keadaanku sudah lebih baik. Yang ku simpan-simpan untuk saat ini, agar atmosfer yang dikandung di dalamnya tidak berubah, tetap menyenangkan, mengenangkan, nostalgic. Mungkin aku akan mendengarkannya juga saat di Jogja nanti.
Ngomong ngomong soal Jogja, apa ada yang kamu bawa dari sini ke Jogja mu? Yahh maksudku selain semua lukisanku, gelang-gelangan itu, dan oleh-oleh alakadarnya yang kamu beli disini. Sebab kau ternyata meninggalkan sesuatu disini vi— mungkin kamu juga sama denganku atau mungkin juga tidak.
Ehh emangnya ada yang ketinggalan ya bapaim?
Ada!
Apa itu?
Hmmm... yahh...
Apaa yang ketinggalan!?
Yaa... ada lahh..
-_-
—Eh lanjut Rahh.. aku mau bilang apa tadi yahh.. aduh lupa lagi. Oh ya, tentang Jogja, Aku tidak tahu kapan bisa kesana, mungkin nanti saat aku sudah lebih pantas—dan aku sungguh sedang memperjuangkannya—, atau mungkin nanti kalau aku sudah banyak duitnya, atau mungkin nanti kalau aku punya long weekend, atau mungkin kalau aku ambil jatah cuti beberapa hari dari kantor, atau mungkin nanti kalau aku punya alasan kesana, atau mungkin nanti kalau aku sudah terlalu kangen— eh.. aduh.. gak, gak, gak. Lupakan saja yang barusan. Sudah 3 surat yang ku kirimkan padamu setelah kamu kembali ke Jogja, yang intinya sebenarnya hanya itu-itu saja.
Anyway, malam ini bulannya masih tidak terlihat ya. Juga sepertinya aku sudah mulai ngantuk. Jadi aku akhiri suratnya sampai sini saja ya.
Selamat malam
—Rama

Previous Next