Selamat malam, Sinta. Ini mungkin surat pertama yang sepenuhnya aku tujukan untukmu, dan hanya untukmu.
Malam ini bulannya terang, ya? Aku tetap ingin mengibaratkan kamu dengannya, dengan rembulan itu—walaupun katanya kamu lebih suka dipanggil "bintang" ya? tapi aku anggap cahaya rembulan memang lebih cocok untukmu daripada kelap-kelip bintang-bintang itu.
Bagaimana kabarmu, Sinta?
Tentang surat-suratan ini: walau aku selalu menunggu balasanmu, akan tetapi aku tak pernah memaksamu untuk membalasnya.
Sudah lama aku tidak menelponmu, ya?
Bukan berarti aku tak ingin berkabar denganmu. Bukan berarti aku tak kangen mendengar ceritamu—tentang menyusun buku di rak, tentang bimbingan itu, tentang chat-chat ngawur mahasiswa pemalas itu, tentang teman-temanmu, tentang dosen, tentang jurnal… tentang kamu.
Tapi, Sinta, aku hanya tak ingin terlalu menyita waktumu untuk hal-hal remeh yang kurang penting. Tak ingin waktumu terkuras hanya untuk mengobati rasa kangenku. Padahal aku selalu ingin menceritakan semuanya padamu, dan mendengar semuanya darimu… Setiap hari… Setiap kegiatanku
Tapi sinta, Sungguh, betapa berat menahan diri... Maka olahraga, menulis, jalan-jalan, membaca, atau nonton—kujadikan semuanya alternatif untuk memalingkan perhatianku.
Juga, aku ingin tetap menjaga niatku. Jadi, maklum saja, ya? Aku tetap akan mengirim surat-suratan ini sesekali kok… Jadi jangan marah ya, Vi~
Walaupun begitu, Sinta, kamu tetap boleh mengirimiku pesan kapanpun. Atau menelponku kapanpun. Dan aku memang menunggu-nunggunya darimu. Aku tetap ingin diajak membuat jurnal lagi, tetap ingin diajak mengerjakan project bersamamu lagi. Jadi, jangan sungkan, ya? Kamu tetap punya diriku, Sinta. Dan kuharap aku tetap punya dirimu.
Oh ya, soal tulisanmu itu—tak apa jika kamu memang tak ingin mengirimkannya. Aku bisa diam-diam membaca tulisanmu yang lama, atau melihat kembali foto dan video kita. Lagi pula, "suka diam-diam" memang style-ku, kan, Sinta. Sekali lagi, mudah-mudahan kamu tak marah, ya..
Dan sungguh, dua orang dengan frekuensi sama akan dipertemukan kembali, bagaimanapun caranya. Jadi, tenang saja, Sinta.
Kurasa muqaddimah surat ini terlalu "sesuatu", ya? Hahaha. Aku hanya tak ingin kamu salah paham dengan ku. Walaupun aku utarakan dengan cara se-cringe ini.
Jaga-jaga kamu belum tidur, aku ingin bercerita padamu sebuah dongeng. Lagi pula, kamu suka kan saat aku bercerita? Iya kan, Sinta? Hahaha.
——
Dulu, Sinta, suatu waktu saat Rama masih kanak-kanak, dia susah sekali tertidur. Sudah ditimangi ibunya dengan suara lembut, pun ubun-ubunnya sudah dielus-elus, punggungnya sambil ditepuk-tepuk—tapi si anak nakal itu tetap terjaga.
Dia hanya pura-pura tidur. Kelopak matanya hanya pura-pura kuncup, sampai nyanyian dan elusan itu berhenti. Lalu ia dibaringkan di tempat tidur yang sekelilingnya dipagari bantal-bantal agar anak itu tak jatuh dari sana. Masih pura-pura tidur, diingat ingat kembali sebuah cerita… cerita yang aneh, Sinta… tentang pagi ini, di gerobak tukang sayur depan rumah.
Sambil digendong, dia mendengar ibu-ibu bergosip di sekeliling gerobak tukang sayur itu dengan bahasa campur aduk:
"Ihh, Jeng, tau nggak? I think Mrs. Vio is too beautiful, deh… She is too santun. I also think she is too manis for Rama."
"Oh yes, Jeng! Mrs. Vio is not only beautiful and santun—she's also good at memasak. Unlike Rama. The food he forces is not enak, ya kan, Ram?"
Rama protes: "Lohh kok ke saya, Bu? Saya saat ini masih bayi! Nanti kalau sudah jadi bapak-bapak kantoran di Jakarta, saya sudah pinter masak!"
Tiba-tiba, tukang sayur—yang ternyata Pak Rahwana—nyemplung ke obrolan dengan aksen medok khasnya:
"Iya, Jheng. Sinta iku ayu, mosok dapate Rama yang cuma tau olah rogo, menyendiri, atau ngoding… Piyee to, ndak make sense!"
Ibu-ibu kompak: "Yes, yes! Betul, betul, Pak!"
Pak Rahwana kini jadi tukang sayur. Dia sekarang sudah jarang mengantar surat, Sinta. Dia beralih profesi jadi tukang sayur—gak tau sampai berapa lama. Dia terkenal di antara ibu-ibu sekampung bukan karena sayurnya yang dijualnya gratis, bukan juga karena dia selalu memberikan bonus ikan paus saat ibu ibu membeli sayuran nya. Dia jadi terkenal di antara ibu-ibu sekampung karena sering meladeni mereka untuk bergosip, tapi karena gemar meladeni gosip. Mau pakai bahasa apa pun, topik apa pun, dia selalu tahu. Bahkan tentang kamu, Sinta—sebelum aku sempat menuliskannya di surat.
Setiap pagi, dia akan membunyikan lonceng yang ada di penganan gerobak sayurnya, lalu ibu-ibu mulai berdatangan: ibu-ibu sepuh, ibu-ibu muda, dan para gadis mulai mengerubungi pak rahwana...
"Jadi, Pak, piye kabare crita Ramayana kuwi?"
"Adhuh, nek crita Ramayana durung iso tak critakke, Neng. Critane durung rampung, mung sepertigane wae durung."
...
tiba tiba seorang gadis dengan kebaya dan pakaian adat jawa menyela :
"Is there any cerita about Rama himself, sir?"
"Oh dear, as for critane Rama, I'm not so sure, Neng. A lot of people have been asking, but he's been really cuek. Maybe just ask Sinta instead, Neng."
Gadis itu cemberut: "Yahh, yaudah. Forget it. I've changed my mind about buying the sayurannya, Pak."
Pak Rahwana buru-buru:"Eh, tunggu, Neng!Kalau kabar Sinta, saya ada—"
Tapi mbak-mbak tadi sudah pergi dengan bete-nya.
Lalu tiba-tiba datang ibu-ibu dengan kostum kantoran, kemeja putih, dengan rok hitam:
"Hmmm, boleh deh. Saya mau kabar Sintanya satu, ya Pak."
"Kalau kabar Sinta tiganya, harga lima ribu. Kalau beli satu, sepuluh ribu, bu."
"Yasudah, satu saja."
"Kabarnya, Sinta lagi sibuk, bu. Lagi ngasih bimbingan, UAS sama magang di perpustakaan... dia juga lagi bikin jurnal"
"Oo, sibuk banget dong Sintanya."
"Iya, bu."
Tiba-tiba, Rama protes:
"Eh, Pak, kok ngomongin Sinta saya sih?!"
Ibu-ibu menyahut : "ciyee ciyee, terr terr"
Pak Rahwana kaget: "Ehh... e-enggak, Mas Rama! Ini cuma... anu... itu..."
*Cling!
Pak Rahwana hilang. Ibu-ibu bubar. Gerobaknya pun lenyap. Tinggal Rama sendirian, dia masih bayi yang tadi terbaring diatas tempat tidur yang di sekelilingnya di pagari bantal-bantal
Dia baru sadar bahwa semua yang terjadi tadi hanyalah mimpi. Cerita itu hanyalah mimpi. Pak Rahwana itu hanyalah mimpi. Ibu-ibu itu pun hanyalah mimpi.
Dia baru sadar ternyata selama ini dia sudah tertidur, Sinta. Setelah ditimangi ibunya, setelah dielus ubun-ubunnya, dia sudah terlelap Sinta. Dia hanya pura-pura terbangun. []
Tirainya tertutup, hadirin bertepuk tangan. aku melambai-lambaikan tangan kepada mereka, dan di antara penonton—atau pembaca— itu. Perhatianku jatuh padamu yang duduk di kursi depan menyaksikan lakon bayi Rama yang pura pura dewasa, yang ceritanya sebenarnya hanya tentang mu, Sinta..
...
Begitulah Sinta, aku langsung menuliskan sekadarnya apa yang sesaat terlintas di kepalaku, aku akan tertawa jika kamu tertawa juga membacanya... Jadi tertawa saja Sinta. atau sekedar senyum, lalu kasih tau rama jika kamu tertawa atau tersenyum.
Anyway, good night.
- rama
Previous