Rahh, sekarang tanggal 19 Desember. Malam ini, lagi-lagi aku tidak bisa tidur, mataku lagi-lagi tak mau kuncup. Maka, kuputuskan untuk menulis surat kepadamu. Jadi, panjang suratku kali ini sepanjang durasi insomniaku saja, ya?
Aku sebenarnya juga tidak tahu ingin bercerita apa padamu kali ini. Oh iya, kamu lihat kan aku kemarin nyanyi solo di Inight? Hahaha. Itu sebenarnya tidak direncanakan sebelumnya, kau tahu, dadakan saja. Tapi yahh, kurasa tidak buruk lah. Oh ya, kemarin saat di atas panggung, lampu sorotnya terlalu menyilaukan, Rahh, sampai-sampai penonton tidak terlalu kelihatan jelas, bahkan hanya terlihat kakinya saja. Ekspresi wajahmu juga tidak kelihatan jelas, entah kamu tersenyum atau tidak, aku tidak tahu. Entah kamu ikut bernyanyi atau tidak, aku juga tidak tahu. Aku bahkan tidak tahu di bagian mana kamu duduk malam itu, jadi maaf saja ya, aku tidak bisa menyapamu.
Sebenarnya, Rahh, sebelumnya aku ingin sekali mengajakmu untuk ikut bernyanyi bersamaku kemarin, mengingat kita jarang sekali saling menyapa — di chat pun jarang — tapi aku tahu pasti jawabanmu tidak mau, seperti yang sebelumnya. Katamu tidak ingin membadut, yaa tidak apa-apa sebenarnya. Tapi aku ingin memberitahumu satu hal dan hanya satu hal saja: mau siapapun yang aku ajak, dirimu selalu jadi pilihan pertama yang aku inginkan.
Rahh, aku juga ingin bilang, acaranya keren. Walaupun aku dengar kamu agak struggling kemarin-kemarin, tapi yahh, walaupun tak pernah kuucapkan dan mungkin kau juga tak pernah tahu, aku selalu harap semua baik-baik saja. Dan akhirnya, selamat dan kerja bagus. Walaupun kemarin saat pemberian medali penghargaan ala-ala, ada salah dikit, hahaha. Tapi, santai saja, tidak ada komplain dariku, toh pada akhirnya aku menukarkannya kembali dengan yang benar. Dan juga maaf aku tidak menyapamu kemarin, ya. Aku sebenarnya agak canggung untuk kembali berbicara seperti biasanya lagi — walaupun tak kelihatan seperti itu — tapi tak apa, aku juga tidak ingin kau memusingkan hal-hal seperti ini lagi. Tak apa, tak usah memikirkannya — pikirkan saja proposal skripsimu, hehe. Semangattt!
Rahh, kalau ada yang benar-benar aku inginkan saat malam itu, jelas bukan sorotan lampu, bukan juga tepuk tangan dan sorakan, ataupun penghargaan itu. Kalau ada yang benar-benar kuinginkan malam itu, mungkin sekadar berfoto bersamamu, berdua, bersamamu. Itu saja, dan mungkin hanya itu saja. Dress merah itu memang cocok denganmu. Tapi aku terlalu canggung untuk memintanya, dan mungkin juga kau tak mau pada akhirnya. Jadi tak apa lah. Mungkin lain kali saja, kalau kita bertemu lagi, di hari yang entah kapan itu.
Kau tahu, Rahh, bukan berarti selama ini tidak ada yang mendekati si rama-rama itu. Tapi kau tahu, bocah itu sepertinya tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu lagi, hahaha. Kerjaannya tiap hari hanya ngerjain commission, ngoding, nulis skripsi, penelitian, training model, lari sore, dan nulis novel — sepertinya dia sedang menghayalkan sesuatu. Bocah itu, kemarin dia padahal kepingin sekali bertemu denganmu di kolokiumnya, tapi sepertinya dia pulang ke kosan dengan sedikit kecewa walaupun nilai kolokiumnya A.
Ngomong-ngomong soal novel, Rahh, si rama rama itu, bocah itu, sepertinya sedang menulis sesuatu. Entah ceritanya akan seperti apa, dia masih tidak ingin memberitahukannya. Katanya, di akhir Desember ini selesai, sih. Tapi kau kan tahu sendiri, komisinya banyak. Kemarin sepertinya animasinya dapat banyak penonton — terakhir aku cek sudah dua juta, gilee. Follower-nya sudah beribu-ribu, jadi banyak sekali email untuk komisi yang beterbangan dalam kepalanya. Si rama rama itu, bocah itu, dia sedang banyak duit sepertinya, kamu minta dia traktir saja, atau ajak dia nonton sesekali. Aku yakin dia tidak akan menolaknya. Semoga saja bocah itu tidak star syndrome, hahaha. Dia bilang kalau itu sebagai hadiah dari konsistensi dan kesendiriannya selama ini. Entahlah, bocah itu memang suka sekali meromantisasi semua hal—Sepertinya hubungan dia dengan Rabb-nya sedang baik.
Kau tahu, Rahh, entah kenapa, semenjak pulang dari KKN, bocah itu jadi — agak... gimana bahasanya, ya? — agak dewasa mungkin. Pace ngomongnya jadi lebih lambat, dia jadi lebih banyak tersenyum, dia jadi lebih konsisten, dia jadi lebih berani menghadapi masalah, dia jadi tidak tergesa-gesa, dia jadi lebih mendengarkan orang lain, dia jadi lebih banyak refleksi, dia jadi lebih sedikit mengeluh, dia jadi lebih baik. Dan semoga akan jadi lebih baik lagi. Ini harapanku yang paling tulus untuknya — dan ingatlah surat ini sampai kapanpun, Ramm, atau Him, atau Baim, atau Kak, atau Nak, atau Dur, atau siapapun panggilanmu, ingat, teruslah jadi manusia yang lebih baik.
Aduh, Rahh, tidak sadar sudah lama sekali aku menuliskan ini, sampai adzan subuh sudah terdengar. Sepertinya itu tanda akhir dari suratku ini. Aku tahu orang yang menjadi alasan surat ini ditulis mungkin tidak akan membalasnya, atau membacanya, atau sekadar tahu surat-suratan ala-ala ini ada saja sepertinya tidak. Jadi, yahh, sepertinya aku akhiri saja untuk malam ini ya? Mungkin akan aku lanjutkan lagi di waktu insomniaku yang entah kapan. Terakhir, aku mau ucapkan selamat dan semangat untuk semua tugasmu dan mimpimu, Rahh. Sampai jumpa.
Salam hangat,
—Rama
Rahh, aku kembali lagi. Sedikit saja, walaupun suratku sudah selesai, aku ingin sampaikan sedikit saja. Sambil berjalan pulang aku ketik ini.
Rembulan subuh ini masih cantik, walaupun kamera HP-ku tidak paham. Cahaya langit jingga sunrise juga begitu lembut. Cuacanya cerah, pertanda baik. Lalu, pulang berjalan kaki di antara kedua pemandangan ini memang sesuatu banget, mengesampingkan fakta bahwa aku belum tidur malam ini.
...
Ternyata suratku masih berlanjut, Rahh, masih di pagi yang sama. Kali ini aku tulis di atas kereta dari Bojonggede dengan tujuan Manggarai. Kau tahu, Rahh, awalnya aku bingung mengapa orang-orang berdesakan sekali, berlomba ingin cepat-cepat naik kereta. Lalu sesaat setelah pintu terbuka, mereka langsung berlarian seperti sekumpulan ayam menyerbu jagung yang dihamburkan. Bedanya, mereka menyerbu kursi kereta —dan aku masih berjalan santai saja. Aku tidak tahu kalau kursinya ternyata sesedikit ini. Dan sekarang aku berakhir dengan berdiri. Sebenarnya tidak apa-apa juga, sih.
Kuhamati ekspresi penumpang-penumpang, cukup beragam, yah. Ada yang masih mengantuk, ada yang cekikikan, ada juga yang nampak cemas — Rabbii, mudahkan urusan bapak itu, sungguh Engkau yang Maha Baik.
Kebanyakan orang tertidur, Rahh, bahkan ada yang tertidur sambil berdiri, lho. Sebagai catatan, ini masih pagi, masih jam 6. Kau tahu, aku kan jarang naik kereta, jadi mungkin ini pemandangan yang agak tidak biasa bagiku.
Oh ya, Rahh. Aku menuliskan surat ini diiringi lagu kesukaanmu, atau setidaknya lagu ini ada di playlist Spotify-mu —maaf aku diam-diam mengintipnya, tehe.
...
Lewat satu stasiun, Rahh, Stasiun Citayam. Gerbong langsung seketika penuh, orang-orang masuk seperti air yang memenuhi wadah. Sekarang aku menuliskan ini sambil berdesak-desakan. Sudah tidak terlihat lagi orang yang duduk.
...
Menuju Stasiun Depok, matahari pagi menyapu wajahku dengan lembut. Masih dengan desak desakkan yang sama.
...
Sekarang di Stasiun Depok Baru, orang-orang malah makin sesak. Aku tadi pikir akan sedikit leluasa, malah sebaliknya. Ibu-ibu yang di belakangku dari tadi langsung bergegas ke depanku hanya untuk dekat dengan pegangan di samping pintu — ibu ini sudah berpengalaman rupanya, beda dengan bocah amatir ini.
Sementara itu, ada cewek ber-hoodie biru yang baru naik tadi. Astaga, wajahnya langsung di depanku, tangannya langsung nyosor ke pegangan di samping kursi, aduh ini di atas tanganku. Aku terpaksa harus melepaskan tanganku dari genggaman demi agar tidak menyentuh tangannya — plis nona, jangan bernapas di telingaku.
Sementara tanganku dilepas, aku tidak punya pegangan apa pun sekarang. Satu-satunya andalanku sekarang adalah otot paha dan perutku untuk menahan ujian ini — plis nona, sekali lagi jangan bernapas di telingaku. Kurasa ngegym tiap hari hanya demi situasi ini. Aku agak condong ke belakang demi menyesuaikan posisi, dengan konsekuensi beban berlebih lebih di otot perutku — bertahanlah, kawan, 7 stasiun lagi, ini demi harga diri kita berdua.
...
Dari Stasiun Pondok Cina malah lebih sesak lagi, Rahh. Aduh plis, aku bahkan susah untuk mengetik sekarang, bahkan dengan satu tanganku.
...
Stasiun UI, Stasiun Univ. Pancasila, Stasiun Lenteng Agung, Stasiun apalah, aku bahkan tidak ingat nama stasiun sekarang — plis nona, aku sudah tidak bisa mundur sekarang, please menjauh sedikit saja atau aku akan melompat dari kereta. Otot core-ku sudah bertahan selama 12 menit. Bahkan kakiku sudah membentuk huruf X. Ahh, aku sudah tidak bisa menulis lagi, Rahh, terlalu sesak. Sial, beliau bersandar di shoulder-ku sekarang. Beban tubuhku saja sudah tidak bisa kutahan, ditambah ini lagi. Aku ini sudah setengah jinjit sekarang, entah pose JoJo apa yang sekarang sedang aku peragakan. Aduh, lututku gemetar hebat — Rabbi, tolong hamba.
...
Matahari sudah agak muncul, entah sudah berapa stasiun terlewati dengan pose aneh ini. Stasiun Tanjung Barat, Pasar Minggu, Pasar Minggu Baru. Aku sekarang hanya bertumpu dengan satu kaki dan bergantian berpindah kaki untuk mengurangi bebannya. Yeayy, aku menemukan sebuah metode untuk bertahan di situasi ini. Walaupun sesekali keseimbanganku goyah, masih aman. Juga, sudah berapa lagu yang terlewati di playlist-mu ini, Rahh? Dan sekarang aku mendengarkan Tulus. Lututku masih gemetar. Lalu paha dan telapak kakiku mati rasa — ayolah, turunlah beberapa orang supaya aku bisa berdiri tegak sebentar saja.
Duren Kalibata~. Aku sudah tidak punya keinginan untuk duduk, sekadar terlintas saja tidak. Aku hanya ingin berdiri tegap. Sepertinya mepet ke tembok masih lebih nyaman, sekalian saja aku menjadi tembok. Bisa saja aku berbalik dengan konsekuensi wajahku harus berdekatan dengan beliau ini. Kalau di neraka ada siksaan semacam ini, sepertinya pendosa seperti kita akan langsung tobat.
...
Hey pak, siapa suruh lebih dekat? Kau tidak lihat tubuhku sudah membentuk huruf C terbalik ini? Kau ingin tulangku patah, hah?
...
Stasiun Tebet. Akhirnya aku bisa berdiri tegak. Kakiku yang tadi seperti X sekarang berganti menjadi V. Walaupun lagunya apa, tapi sekarang yang bermain di kepalaku adalah ~I'M STILL STANDING YEAH YEAH YEAH. Akhirnya Stasiun Manggarai. Saatnya manusia C ini turun.
Lagian, untuk apa aku ke Jakarta sekarang? Jawabannya: tidak ada, jalan-jalan saja. Tehe.
Sementara itu, aku belum tidur ini. Serius.
Yasudah, sepertinya sampai sini saja ceritanya ya, Rahh. Sampai jumpa di kolokium-mu nanti.
...
Dan Rahh, ternyata orang yang tidur di kereta sambil berdiri itu aku —please, ini ngantuk banget.
Previous