Wrong note

đź“… Juli 16, 2024


Lihatlah, Sita, saat ini kita dikelilingi sawah dan udara segar. Pak Tani dan Bu Tani sibuk mengolah tanah yang akan ditanami padi, beberapa orang membersihkan rerumputan liar, beberapa orang mencangkul dan membajak tanah, dan satu-dua orang kemudian merapikan tanahnya dan menumpuk pematang sawah.

Kamu duduk di sebelahku. Kita berdua saja di dalam saung sederhana yang menghadap utara, ke arah kali yang sumbernya berasal dari mata air di bukit sebelah barat pesawahan. Itu mata air yang sama yang alirannya dimanfaatkan untuk mengairi pesawahan yang mengelilingi kita, Sita.

Kamu terlihat excited dengan kegiatan para petani membajak sawah, mungkin karena di kota kau jarang melihat hal seperti ini, ya? Kau memandang ke arah mereka dan aku memandang ke arahmu, lantas kau senyum sambil mengam–

"Ramaaa... atas dasar apa bumi mengalah dan membiarkan dirinya dibelah kemudian ditanami padi?"

Tak ada angin, tak ada hujan, kau mendaratkan pertanyaan yang hampir-hampir membuat pikiranku kosong.

Aku sedikit terhenyak, Sita, sebab itu pertanyaan yang sama yang ditanyakan api pada kayu; itu pertanyaan yang sama yang ditanyakan hujan pada awan; dan itu pertanyaan yang sama yang ditanyakan manusia pada bumi. Belum sempat aku menjawab, kamu lalu melanjutkan pertanyaannya,

"Setelah itu, bumi rawat bibit yang kau tanam hingga tumbuh dan menguning, lalu hatimu gembira. Sedang kau injak-injak punggungnya dan kau kotori mata airnya, lalu kamu acuh-tak-acuh kepadanya tanpa tanggung jawab. Lantas atas dasar apa bumi begitu kasih kepadamu, kepada manusia?" Aduh, Sita, pertanyaanmu itu lho...

...

Kau masih memandangi para petani, dan aku masih memandangimu.

"Atas dasar apa lagi bumi rela akan semua hal itu, kalau bukan Asih, Sita" jawabku.

Kata Sapardi Djoko Damono, “Bumi seperti ibu yang baik, ia selalu menyayangi anak-anaknya, merawatnya, dan membuatnya senang, tidak peduli itu anak yang penurut atau anak yang laknat, diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang. Pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama saja.”

Kita saksikan Pak Tani dan Bu Tani yang kulitnya mengkilat karena peluhnya. Ayunan cangkul dan tetesan keringat itu lalu membuatmu senyum, aku ikut tersenyum juga… Kemudian kau tanya lagi apa itu kebahagiaan, sungguh akan ku jawab, "kebahagiaan adalah dirimu, Sita."

Angin sepoi mengelus pipi-pipi para petani, kita pun juga dibelainya. Padi hijau dan padi kuning melambai-lambai memperagakan waltz, seakan-akan mereka paham kalau sedang diperhatikan olehmu. Kita saksikan burung-burung berpesta padi di hamparan sawah, kita menerka-nerka bentuk awan-awan kecil di sebelah utara cakrawala. Adakah yang ingin kamu tanyakan tentang hal itu, Sita?

Kau lihat sepasang burung lalu-lalang di atas hamparan padi, jalur-jalur pipa kecil yang berisi aliran air dari mata air jernih yang mengalir ke rumah-rumah warga, langit senja menua dihiasi gradasi sedikit warna jingga, ungu, dan biru. Soma hampir lengkap.

Mengapa kita masih juga mengobrol, hari sudah sore, Sita. Pak Tani dan Bu Tani bersiap-siap untuk pulang. Setiap kali mereka lewat di depanmu, kau lalu senyum dengan mata yang sedikit menutup, muncul garis lipatan senyum sekitar pipimu dan nampak sedikit gigi putih ngintip di balik bibirmu. Setiap kali lewat, tak lupa mereka selalu tanyakan, “Timana asalna, Neng?” “Jalma nu mana?” “Anjeun kawitna timana?” Kau ditanya banyak hal kecuali namamu, seakan-akan mereka sudah lama tahu. Maka kau balas mereka dengan kata-kata yang sopan, lemah-lembut, dan ayu; bak perempuan Jawa tulen yang pakaiannya dari kebaya yang ditenun; bak perempuan Jawa tulen yang kalau berjalan, langkahnya dekat; bak perempuan Jawa tulen yang kalau berbicara, suaranya mendayu dan pandangannya teduh.

Mereka telah pergi, Sita, dan sekarang hanya tinggal kita berdua saja di sini, di dalam saung yang menjadi sepi tiba-tiba. Bibirmu masih tersenyum, entah apa sedang kau bayangkan sampai-sampai seisi dunia dibikin takjub. Lalu aku melihatmu, teduh, seperti mendengar balada dengan tambahan melodi-melodi lonceng bambu dan biola.

Kamu memperhatikan persawahan dan aku memperhatikanmu. Maka kau hentikan musiknya dan mulai bernyanyi. Ditimangi padi-padi dengan falsetto suaramu, hingga mereka peragakan waltz dengan iringan orkestra angin, gemericik air, suara katak, dan jangkrik.

... Matahari sudah hilang dan kamu masih menimang lagu yang sama, sampai-sampai aku hafal dengan liriknya, walaupun sebelumnya aku belum pernah mendengarnya sama sekali. Lagu itu ada saja, aku tidak tahu.

Akan tetapi, aku mulai bernyanyi, tak sadar hanya aku yang mendengarkan diriku sendiri, suara gemericik air dan siulan angin juga tak terdengar, katak dan jangkrik tiba tiba hening, dan kau pun ternyata tak ada di sana, lantas dengan siapa aku tadi menimang, Sita. []


Selamat malam, Rahh. Apa kabar selama ini? Barangkali bintang-bintang masih berkedip untukmu. Sesekali pun aku ingin hilang dari lampu-lampu dan suara-suara bising malam hari, lalu ingin kutulis surat untukmu. Lima bulan sudah aku ngide menuliskan tetek-bengek ini untukmu dan sudah lima surat yang kukirim. Aku sendiri tidak tahu apakah selama lima bulan ini kau telah membaca semuanya atau tidak. Surat-surat itu kutulis mungkin sekali karena aku pikir ada sesuatu yang atmosfernya – atau entah apanya – membuatku merasa dirimu ingin mendengar ceritanya dariku.

Oh iya, kemarin tanggal 1 Juli, Rama berulang tahun. Tentu kamu ingat kan… dirinya tidak ingin perayaan, atau selametan, atau apapun itu. Laki-laki itu jarang dirayakan. Pada dasarnya kebanyakan artist memang tidak terlalu suka diganggu, atau mungkin ia suka juga, mungkin diam-diam ngintip grup chat yang sedang ramai obrolannya, mungkin bolak-balik mengecek notifikasi sosial media, mungkin satu-dua kali melihat status online orang lain, mungkin saja..

Suratku kali ini kutulis disaksikan katak dan jangkrik, mereka saling sahut-menyahut dengan bulan. Aku hanya berharap mereka memainkan musiknya hingga larut malam atau bahkan sampai subuh agar aku dapat menikmati malam ini lebih lama sambil bercerita padamu. Bulan malu-malu menyembunyikan cahayanya, mungkin dia cemburu dengan kunang kunang. Jangan ucapkan selamat malam padanya.

Rahh, ternyata gosip bisa semengerikan itu, ya? Hahaha… aku cuma bisa tertawa, mengapa perempuan itu suka bergosip, tak sengaja ku dengar kabar angin dari timur…

BRRRRRR Aduh malam ini dingin sekali rahh, 14 derajat celcius. sudah aku bungkus diri dengan 2 lapis jaket dan 2 lapis kaos kaki dan 1 celana panjang, tapi masih aku kedinginan. Inga–

– Ahh dingin sekali malam ini, aku tak kuat Rahh, maaf yah aku ingin langsung tidur… nanti ku lanjutkan lagi surat ini besok, atau kapan-kapan kalau ku ingat–



ngl button